CERPEN : CITA-CITA KU
CITA-CITA KU
Aku menatap
lalu lalang mobil dengan pandangan bingung. Bus yang membawaku pulang ke rumah
melaju kencang atau bisa dibilang ugal-ugalan. Jujur, aku bingung. Kejadian di
sekolah tadi masih mengganggu pikiranku. Memang bukan kejadian besar tetapi itu
membuatku berpikir keras dan berusaha mencari kejelasan atas apa yang aku
lakukan.
Jadi, tadi
sebelum pulang sekolah, guru BK menyuruh anak-anak kelasku untuk menulis satu
cita-cita yang PALING ingin diraih. Paling inging diraih? Satu cita-cita?
Itulah yang ada di pikiranku hingga sekarang. Satu? Aku punya beribu cita-cita.
Jadi wartawan, reporter, penyiar radio, dokter cinta, psikolog, arsitektur,
sastrawan, editor, ahli komputer, ustadzah, guru-eh? Guru? Tunggu! Itu kan
cita-cita sewaktu aku masih kecil.. Dan sudah lama banget aku nggak kepikiran
soal cita-cita itu.
Apa ada
sesuatu yang ku lupakan? Kenapa dulu aku ingin jadi guru? Apa sih spesialnya
jadi guru? Argh… Karena itulah aku bingung.. Kenapa harus menulis satu saja
sementara aku punya banyak cita-cita. Karena waktunya juga terbatas, akhirnya
aku menulis cita-citaku adalah menjadi seorang guru. Aku menulisnya tanpa
alasan. Ada ruang kosong di hati saat menulisnya. Kenapa? Kenapa di lembaran
kertas putih itu aku ingin menjadi seorang guru? Apa yang sudah ku lupakan?
Kenapa tujuan hidupku seolah berubah dan bercabang? Yang awalnya hanya ingin
menjadi seorang guru lalu bercabang dan menjadi banyak cita-cita. Apa yang
salah dari diriku?
Aku memasuki
rumah sambil mengucap salam. Sepertinya aku harus mengorek masa lalu. Kenapa
dulu aku ingin menjadi seorang guru. Pasti ada alasannya. Pasti juga ada alasan
kenapa cita-citaku jadi banyak seperti itu. Aku membuka kembali diary masa
kecilku. Aku baca lembar demi lembar halamannya. Meskipun aku tak menemukan
alasan kenapa aku ingin menjadi seorang guru, aku cukup terhibur dengan isi
diaryku. Cara penulisannya yang polos, cerita-cerita tidak penting yang aku
tulis, terlalu banyak kata ‘lalu’ untuk menyambung suatu cerita, juga tulisanku
yang besar-besar dan tidak rapi membuatku bernostalgia sekaligus tertawa
dibuatnya.
“Lagi apa,
Fe?” tanya kakak perempuanku yang bernama Ruri.
“Lagi nyari
sesuatu,” jawabku seadanya.
“Sesuatu?
Kok buka-buka buku diary segala,” Kak Ruri terkekeh, “Nyari apa sih? Nyari nama
mantan?” ia menyenggol lenganku dengan senyum menggoda.
“Mantan?
Pacaran aja belum pernah masa nyari nama mantan,” aku menggembungkan pipiku
yang cubby.
“Nyari apa
dong kalau gitu?” tanyanya penasaran.
“Nyari
alasan.”
“Alasan?”
Kak Ruri menautkan alis.
“Alasan
kenapa aku ingin jadi guru.”
“Oh…”
“Kak Ruri
tahu nggak kenapa dulu waktu aku kecil aku ingin banget jadi guru?”
“Hm… Gak
tahu sih. Mungkin karena suruhan Ayah sama Ibu. Dulu kan Ayah sama Ibu inginnya
kamu jadi guru. Gak tahu deh kalau sekarang cita-cita kamu berubah,” Kak Ruri
mengangkat bahunya dan disambut helaan napas dariku.
“Emang
cita-cita kamu selain jadi guru apaan, Fe?”
“Ya banyak!”
jawabku antusias.
“Contohnya?”
“Psikolog,
penyiar, novelis–”
“Coba deh
kamu pikir alasan kamu ingin jadi psikolog, penyiar, novelis, pasti ada
alasannya, kan?” potong Kak Ruri. “Aku ingin jadi psikolog karena aku ingin
memotivasi orang. Aku ingin jadi penyiar karena aku menganggap pekerjaan itu
asyik. Aku ingin novelis karena aku suka nulis. Aku ingin jadi guru karena…”
“Karena
jawaban itu ada pada diri kamu sendiri. Nggak usah dicari, Fe..” potongnya.
“Harus
dicari, Kakakku tersayang… Ah! Udah ah! Kakak nggak ngasih solusi.. Udah kelas
tiga, bentar lagi ujian, masih aja bingung mau ngambil jurusan apa. Karena itu
guru BK tanya cita-cita. Huh!” keluhku sebal.
“Hahaha…
Nggak sulit kok, Fe. Kamu aja yang bikin sulit.”
“Kenapa sih…
Dulu aku ingin banget jadi guru?” teriakku dengan nada frustrasi.
“Haha!
Masalah profesi aja bisa bikin kamu stres, Fe!” ledeknya.
“Hah…” aku
menghela napas panjang, “Harus nyari di google ya, Kak kelebihan jadi seorang
guru?” sontak Kak Ruri terbahak-bahak. “Jawaban itu ada pada diri kamu sendiri.
Kalau kamu nggak nemuin, cari dong! Tanyakan pada teman-temanmu.. Apa sih
kelebihan seorang guru. Kalau menurutmu sendiri gimana?”
“Mm… Nggak
ada. Guru itu, berangkat, ngajar, pulang. Selesai!”
Kak Ruri
tertawa terbahak-bahak, “Jangan-jangan kamu mikir pekerjaan Kakak sebagai
fotografer cuma foto-foto doang gitu? Pikiranmu pendek sekali, Fe… Udah ah!
Cape ngomong sama anak kecil! Mau kuliah kok pikirannya masih kayak gitu!”
ledeknya dan aku hanya menggembungkan pipi melihatnya memasuki kamar.
—
“Kelebihan
jadi guru, Fe?” seru sahabatku-Angel sewaktu aku menceritakan cita-citaku
tersebut pada ketiga sahabatku. “Menurutku ya, guru itu pekerjaan monoton.
Berangkat, ngajar, pulang, nggak ada asyik-asyiknya!” seru sahabatku -Vita.
“Gajinya
juga dikit, Fe,” tambah Angel, “Gak sebanyak bos-bos di perusahaan,” ia tersenyum
menggoda sambil mengaduk jus strawberry-nya.
“Tapi
menurutku ya, meskipun guru gajinya dikit, tapi dapat banyak pahala,” seru Erin
dengan senyum merekah.
“Iya sih,
tapi kalau ngajarnya kayak Bu Surti malah dapat dosa dong!” seru Vita dan
sontak disambut gelak tawa dari kami berempat.
“Bu Surti
itu kepaksa jadi guru!” tambah Angel.
“Ulangan
dijadiin PR. Kerjaannya di kelas cuma presentasi, ngerjain LKS. Hahahaha…”
tambah Erin.
“Hei, dia
itu guru kita tahu! Jangan kualat!” seruku di sela-sela tawa.
“Asyik juga
sih sebenernya. Kita nggak perlu mikir pelajaran. Bu Surti juga murah nilai.
Tapi, dia nggak ngasih kita ilmu sama sekali. Layaknya sebuah telur yang nggak
ada kuningnya,” ujar Angel.
“Yup!
Terserah kamu aja sih, Fe kalau mau jadi guru. Kalau bisa kamu harus lebih baik
dari Pak Edi. Udah Pak Edi itu ngajarnya enak, nggak banyak PR, murid-murid
jadi paham, gak pelit nilai lagi!” seru Erin antusias.
“Kalau
menurutku ya, nilai itu tergantung pendirian masing-masing guru. Jangan terlalu
pelit, jangan terlalu baik. Kalau terlalu pelit, murid bakal benci sama kita.
Kalau terlalu baik, murid malah nyepelein kita,” tambah Vita. “Kamu kan udah
jadi murid nih, harusnya kalau mau jadi guru, kamu tahu kriteria seperti apa
guru yang baik,” tambah Erin.
“Hm! Teman-teman,
kembali ke pertanyaan awalku. Apa sih kelebihan jadi guru?” tanyaku karena tak
menemukan jawaban dari pertanyaanku tadi.
“Kalau
bagiku yang menuntut hidup banyak materi di dunia, guru itu banyak kekurangan,”
Angel mengaduk jus strawberry-nya, “Gajinya dikit. Gak sebanyak jadi pengusaha.
And… Mm.. Kelebihannya ya itu, banyak pahala.”
“Kekurangan
jadi guru itu.. Menurutku loh ya, pekerjaannya monoton. Tapi pekerjaan monoton
itu tergantung cara kita menyikapinya. Kalau kita have fun jadi guru, ya udah
jalanin aja. Kelebihannya, seperti yang Angel bilang, banyak pahala! Ingat
nggak tiga perkara yang ditinggalkan sesudah mati? Ilmu yang bermanfaat. So,
jadi guru pahalanya terus mengalir,” kata Vita.
“Semua
pekerjaan ada kekurangan sama kelebihannya, Fe. Tergantung cara kita memandang
kekurangan dan kelebihan itu. Jadi guru banyak kok kelebihannya. Gak semonoton
yang Vita bilang. Kita bisa bertemu murid-murid yang menghormati kita yang
berbeda tiap tahunnya, dapat pahala, gajinya juga standar biar kita nggak jadi
manusia yang tamak, dan kita bisa meluangkan banyak waktu buat keluarga,” ujar
Erin dengan senyum lembut, “Oh ya, saranku kalau kamu jadi guru, please ubah
karakter bangsa ini. Waktu sekolah aja mereka udah nyontek, nyari bocoran,
apalagi nanti kalau mereka kerja, bisa korupsi tahu! Mereka itu sama aja udah
nganggap Tuhan nggak ada. Mereka sama sekali nggak takut sama Tuhan.”
“Tapi, Rin,
otakku pas-pasan.. Nggak kayak kamu..” elak Angel.
“Angel,
bukan masalah otak. Masalah letak kejujuran dalam hatimu. Anak Indonesia tuh
pembohong semua tahu nggak?! Bangsa ini akan hancur kalau tunas-tunas mudanya
adalah seorang pembohong! Karena itu kadang aku mikir, buat apa sekolah kalau
cuma nambah dosa doang. Sekolah itu kayak nuntut kita buat ngelakuin dosa!
Temen-temen lain, ngepek, dapat nilai bagus. Aku yang jujur dapat nilai jelek
malah dimarahin gurunya. Guru macam apa itu? Malah membela yang salah. Gurunya
aja udah hancur. Muridnya tambah hancur,” seru Erin tak mau kalah.
“Sabar,
Rin,” aku berusaha menenangkan Erin.
“Aku salut
sama kamu, Rin. Kamu berani mengambil resiko dengan kejujuran. Aku nggak bisa
jadi seperti kamu. Aku selalu ngikutin hawa nafsu dan perkataan temen-temen.
Bagaimanapun juga nilai bagus adalah targetku entah pake cara apa. Aku bangga
sama kamu. Aku senang Indonesia punya orang kayak kamu,” sahut Vita antusias.
“Guru yang
harusnya bisa membentuk karakter murid malah memperparah muridnya sendiri,”
kataku lebih pada diriku sendiri yang ingin menjadi seorang guru.
“Tapi, udah
dibilangin kayak gitu aku nggak akan berhenti nyontek. Nanti nilaiku turun
lagi. Nanti orangtuaku kecewa,” sela Angel dengan wajah innocent.
“Tuh kan!
Lebih mentingin duniawi! Orangtuamu bakal lebih kecewa kalau itu nilai yang
kamu dapat hasil ngepek, nyontek!” seru Erin kesal.
“Emang kamu
nggak mikir, orangtuamu bakal bangga gitu kalau kamu nunjukin nilai-nilai jelek
terus kamu bilang ‘Aku ini jujur loh…’ Hah.. orangtuamu nggak bakal bangga sama
tuh nilai! orangtua tuh cuma peduli hasil akhirnya! Nggak peduli prosesnya
kayak gimana!”
“Ya iya..
Karena itu aku belajar.. Buat nggak nambahin dosa-dosaku.”
“Itu riya’
tahu nggak?! Pamer! Sok alim!”
“Hei!”
seruku dan Vita menghentikan perdebatan dua insan ini.
“Angel,
Erin, udah. Susah nyatuin pendirian yang sama-sama kuat!” seruku menengahi
mereka.
Angel
menghela napas kesal, “Fe, kalau kamu jadi guru, ngajarin yang bener sampai
muridmu bener-bener paham! Jangan sampe mereka nyontek ataupun ngepek!” seru
Angel, “Aku nggak mau keturunanku lebih buruk dari aku.”
“Fe, bilangin
juga sama murid-muridmu nanti, kalu ulangan sejarah sama Pkn jangan ngepek!
Otak manusia tuh hebat! Dipergunain tuh buat menghafal! Manusia tuh bisa
menghafal satu buku sekaligus! Cuma, manusianya aja yang males!” seru Erin tak
mau kalah.
“Fe! kalau
jadi guru jangan yang galak ya! Hehe…” kata Vita dengan senyum merekah.
“Hm! Pasti!
Aku bakal jadi guru yang baik agar bangsa Indonesia bisa berubah,” aku
mengangguk mantap. Tunas-tunas muda bangsa Indonesia, aku akan menunjukkanmu
jalan yang benar agar Indonesia tak terpuruk lagi seperti ini..
—
Dear Diary,
Tadi ada
sebuah kejadian besar di hidupku. Entah kenapa aku mendapat alasan kenapa dulu
aku ingin menjadi seorang guru. Hm.. Aku ingat, Dear secara tiba-tiba.
Berangkat, ngajar, pulang, yang Vita bilang monoton sebenarnya itu adalah hal
yang simple, nggak ribet. Jadi aku punya banyak waktu luang buat keluarga atau
ngelakuin hal-hal bermanfaat lainnya. Gaji dikit yang Angel bilang, itu adalah
sebuah kesederhanaan yang aku impikan sejak kecil agar tak menjadi manusia
tamak yang melupakan Tuhan.
Aku juga
ingin mengamalkan ilmu yang telah ku terima, membagi pengalamanku, dan
mengajari murid-muridku tentang Islam. Lewat profesi guru, aku bisa berdakwah.
Pelan-pelan, ku ubah anak Indonesia ke jalan yang lebih baik. Seperti yang Erin
bilang. Sekolah itu bukan untuk menambah dosa tetapi menuntut ilmu agar
mendapat pahala dan bisa mengamalkannya. Aku juga ingin membangun karakter
bangsa Indonesia. Kejujuran. Itulah kunci utama. Aku harus menciptakan cara supaya
murid-muridku menjadi manusia yang jujur. Tidak urakan lalu mencari bocoran ke
mana-mana. Jujur dan percaya akan diri sendiri namun tidak melupakan Allah SWT.
Seperti yang
Vita bilang, tiga perkara yang kita tinggalkan saat meninggal dunia yaitu ilmu yang
bermanfaat. Aku yakin ilmuku pasti mengalir, diamalkan, dan akan memberikan
pahala di setiap alirannya. Aku juga tidak mau menjadi guru seperti Bu Narti
yang disepelekan oleh murid-muridnya. Aku ingin membuat murid-muridku
benar-benar paham apa yang aku sampaikan. Membuat mereka paham, percaya diri
untuk bertanya, tertawa oleh lelucon-leluconku, tidak tengok kanan-kiri-bawah
saat ulangan, mendapat hasil sesuai usaha dan doa. Memang sih kalau anak
Indonesia bisa menjadi seperti itu mungkin Indonesia bisa menjadi negara maju.
Tetapi aku tahu, semua itu butuh usaha dan doa.
Karena itu,
aku akan menyusun strategi mulai sekarang, belajar dengan giat, selalu berdoa
agar diberi kemudahan, and do the best for all. Belajar jadi Ibu yang baik dari
mengajar, meningkatkan mutu pendidikan Indonesia yang kian terpuruk, memberi
motivasi untuk membangun karakter bangsa ke arah yang lebih baik, jadikan
bangsa Indonesia bangsa yang jujur! Dear, sepertiga hari yang dihabiskan
anak-anak adalah di sekolah. Jadi intinya sekolah itu untuk membangun karakter
mereka selain ajaran orangtua. Jadi guru yang baik untuk anak-anak bangsa! Fe
bisa! Fe fight! Fight! Fight! Fight! Jangan cabangkan cita-citamu lagi! Jangan
jadi bocah ababil! Dewasalah! Bentar lagi mau kuliah! Nggak boleh kayak anak
kecil! Yosh! Fight! Be the best teacher for Indonesian! Yahu! Guru, itulah
cita-citaku! Fe.
“Udah nemuin
alasan jadi guru?” goda Kak Ruri.
“Udah dong!”
seruku antusias.
“Aaapa?”
tanyanya penasaran.
“Rahasia…
Mau tahu? Kalau alasan Kak Ruri jadi fotografer apa?”
Kak Ruri
terkekeh, “Mau tahu aja, apa mau tahu banget? Yang pasti itu rahasia!”
“Gitu kan!
Pelit!”
“Ye! Biarin!
Kalau alasan cita-citamu jadi banyak kayak gitu apa, Fe?”
“Hm… Aku
ababil…” jawabku malu-malu kucing.
“Namanya
juga ABG.. Tahap-tahap keababilan biasalah! Yang penting kamu jangan sampai
salah pilih jalan.”
“Siiiap! Aku
nggak akan salah pilih lagi, Kakak!” kita berdua tertawa bersama.
Udah tahu
kan asyiknya jadi seorang guru? It’s so fun and amazing career! Dan.. Guru
adalah pahlawan. Pahlawan tanpa tanda jasa.
----SELESAI---
CERPEN : CITA-CITA KU
Reviewed by bisnisrumahq.blogspot.com
on
Wednesday, December 20, 2017
Rating:
No comments: