BIOGRAFI RABI’AH AL ADAWIYAH
Biografi
Rabi’ah Al Adawiyah
Rabi’ah al-Adawiyah adalah seorang sufi wanita yang nama dan ajaran-ajarannya
telah memberi inspirasi bagi para pecinta Ilahi. Rabi’ah adalah seorang sufi
legendaries. Sejarah hidupnya banyak diungkap oleh berbagai kalangan, baik di
dunia sufi maupun akademisi. Rabi’ah adalah sufi pertama yang memperkenalkan
ajaran Mahabbah (Cinta) Ilahi, sebuah jenjang (maqam) atau tingkatan yang
dilalui oleh seorang salik (penempuh jalan Ilahi). Selain Rabi’ah al-Adawiyah,
sufi lain yang memperkenalkan ajaran mahabbah adalah Maulana Jalaluddin Rumi,
sufi penyair yang lahir di Persia tahun 604 H/1207 M dan wafat tahun 672 H/1273
M. Jalaluddin Rumi banyak mengenalkan konsep Mahabbah melalui
syai’ir-sya’irnya, terutama dalam Matsnawi dan Diwan-i Syam-I Tabriz.
Rabi’ah adalah anak keempat dari
empat saudara. Semuanya perempuan. Ayahnya menamakan Rabi’ah, yang artinya
“empat”, tak lain karena ia merupakan anak keempat dari keempat saudaranya itu.
Pernah suatu ketika ayahnya berdoa agar ia dikaruniai seorang anak laki-laki.
Keinginan untuk memperoleh anak laki-laki ini disebabkan karena keluarga
Rabi’ah bukanlah termasuk keluarga yang kaya raya, tapi sebaliknya hidup serba
kekurangan dan penuh penderitaan. Setiap hari ayahnya kerap memeras keringat
untuk menghidupi keluarganya, sementara anak-anaknya saat itu masih terbilang
kecil-kecil. Apalagi dengan kehadiran Rabi’ah, beban penderitaan ayahnya pun
dirasakan semakin bertambah berat, sehingga bila kelak dikaruniai anak
laki-laki, diharapkan beban penderitaan itu akan berkurang karena anak
laki-laki bisa melindungi seluruh keluarganya. Atau paling tidak bisa membantu
ayahnya untuk mencari penghidupan.
Sekalipun keluarganya berada dalam
kehidupan yang serba kekurangan, namun ayah Rabi’ah selalu hidup zuhud dan
penuh kesalehan. Begitu pun Rabi’ah, yang meskipun sejak kecil hingga dewasanya
hidup serba kekurangan, namun ia sama sekali tidak menciutkan hatinya untuk
terus beribadah kepada Allah. Sebaliknya, kepapaan keluarganya ia jadikan
sebagai kunci untuk memasuki dunia sufi, yang kemudian melegendakan namanya
sebagai salah seorang martir sufi wanita di antara deretan sejarah para sufi.
Rabi’ah memang tidak mewarisi
karya-karya sufistik, termasuk sya’ir-sya’ir Cinta Ilahinya yang kerap ia
senandungkan. Namun begitu, Sya’ir-sya’ir sufistiknya justru banyak dikutip
oleh para penulis biografi Rabi’ah, antara lain J. Shibt Ibnul Jauzi (w. 1257
M) dengan karyanya Mir’at az-Zaman (Cermin Abad Ini), Ibnu Khallikan (w. 1282
M) dengan karyanya Wafayatul A’yan (Obituari Para Orang Besar), Yafi’I
asy-Syafi’i (w. 1367 M) dengan karyanya Raudl ar-Riyahin fi Hikayat
ash-Shalihin (Kebun Semerbak dalam Kehidupan Para Orang Saleh), dan Fariduddin
Aththar (w. 1230 M) dengan karyanya Tadzkirat al-Auliya’ (Memoar Para Wali).
Dari sekian banyak penulis
biografi Rabi’ah, Tadzkirat al-Awliya’ karya Fariduddin Aththar tampaknya
dianggap sebagai buku biografi yang paling mendekati kehidupan Rabi’ah,
terutama ketika awal-awal Rabi’ah akan lahir di tengah keluarga yang sangat
miskin itu (tapi ada yang menyebutkan bahwa keluarga Rabi’ah sebenarnya
termasuk keturunan bangsawan). Riwayat Aththar, yang dikutip Margaret Smith
dalam bukunya Rabi’a the Mystic & Her Fellow-Saints in Islam (sebuah
disertasi, terbitan Cambridge University Press, London, 1928), antara lain
banyak mengungkap sisi-sisi kehidupan Rabi’ah sejak kecil hingga dewasanya.
Diceritakan, sewaktu bayi
Rabi’ah lahir malam hari, di rumahnya sama sekali tidak ada minyak sebagai
bahan untuk penerangan, termasuk kain pembungkus untuk bayi Rabi’ah. Karena tak
ada alat penerangan, ibunya lalu meminta sang suami, Ismail, untuk mencari
minyak di rumah tetangga. Namun, karena suaminya terlanjur berjanji untuk tidak
meminta bantuan pada sesama manusia (kecuali pada Tuhan), Ismail pun terpaksa
pulang dengan tangan hampa. Saat Ismail tertidur untuk menunggui putri
keempatnya yang baru lahir tersebut, ia kemudian bermimpi didatangi oleh Nabi
Muhammad Saw dan bersabda: “Janganlah bersedih hati, sebab anak perempuanmu
yang baru lahir ini adalah seorang suci yang agung, yang pengaruhnya akan
dianut oleh 7.000 umatku.” Nabi kemudian bersabda lagi: “Besok kirimkan surat
kepada Isa Zadzan, Amir kota Basrah, ingatkanlah kepadanya bahwa ia biasanya
bershalawat seratus kali untukku dan pada malam Jum’at sebanyak empat ratus
kali, tetapi malam Jum’at ini ia melupakanku, dan sebagai hukumannya ia harus
membayar denda kepadamu sebanyak empat ratus dinar.”
Ayah Rabi’ah kemudian terbangun
dan menangis. Tak lama, ia pun menulis surat dan mengirimkannya kepada Amir
kota Basrah itu yang dititipkan kepada pembawa surat pemimpin kota itu. Ketika
Amir selesai membaca surat itu, ia pun berkata: “Berikan dua ribu dinar ini
kepada orang miskin itu sebagai tanda terima kasihku, sebab Nabi telah
mengingatkanku untuk memberi empat ratus dinar kepada orang tua itu dan
katakanlah kepadanya bahwa aku ingin agar ia menghadapku supaya aku dapat
bertemu dengannya. Tetapi aku rasa tidaklah tepat bahwa orang seperti itu harus
datang kepadaku, akulah yang akan datang kepadanya dan mengusap penderitaannya
dengan janggutku.”
Aththar juga menceritakan
mengenai nasib malang yang menimpa keluarga Rabi’ah. Saat Rabi’ah menginjak
dewasa, ayah dan ibunya kemudian meninggal dunia. Jadilah kini ia sebagai anak
yatim piatu. Penderitaan Rabi’ah terus bertambah, terutama setelah kota Basrah
dilanda kelaparan hebat. Rabi’ah dan suadara-saudaranya terpaksa harus
berpencar, sehingga ia harus menanggung beban penderitaan itu sendirian.
Suatu hari, ketika sedang
berejalan-jalan di kota Basrah, ia berjumpa dengan seorang laki-laki yang
memiliki niat buruk. Laki-laki itu lalu menarik Rabi’ah dan menjualnya sebagai
seorang budak seharga enam dirham kepada seorang laki-laki. Dalam statusnya
sebagai budak, Rabi’ah benar-benar diperlakukan kurang manusiawi. Siang malam
tenaga Rabi’ah diperas tanpa mengenal istirahat. Suatu ketika, ada seorang
laki-laki asing yang datang dan melihat Rabi’ah tanpa mengenakan cadar. Ketika
laki-laki itu mendekatinya, Rabi’ah lalu meronta dan kemudian jatuh terpeleset.
Mukanya tersungkur di pasir panas dan berkata: “Ya Allah, aku adalah seorang
musafir tanpa ayah dan ibu, seorang yatim piatu dan seorang budak. Aku telah
terjatuh dan terluka, meskipun demikian aku tidak bersedih hati oleh kejadian
ini, hanya aku ingin sekali ridla-Mu. Aku ingin sekali mengetahui apakah Engkau
Ridla terhadapku atau tidak.” Setelah itu, ia mendengar suara yang mengatakan,
“Janganlah bersedih, sebab pada saat Hari Perhitungan nanti derajatmu akan sama
dengan orang-orang yang terdekat dengan Allah di dalam surga.”
Setelah itu, Rabi’ah kembali
pulang pada tuannya dan tetap menjalankan ibadah puasa sambil melakukan
pekerjaannya sehari-hari. Konon, dalam menjalankan ibadah itu, ia sanggup
berdiri di atas kakinya hingga siang hari.
Pada suatu malam, tuannya sempat
terbangun dari tidurnya dan dari jendela kamarnya ia melihat Rabi’ah sedang
sujud beribadah. Dalam shalatnya Rabi’ah berdoa, “Ya Allah, ya Tuhanku,
Engkau-lah Yang Maha Mengetahui keinginan dalam hatiku untuk selalu menuruti
perintah-perintah-Mu. Jika persoalannya hanyalah terletak padaku, maka aku
tidak akan henti-hentinya barang satu jam pun untuk beribadah kepada-Mu, ya
Allah. Karena Engkau-lah yang telah menciptakanku.” Tatkala Rabi’ah masih
khusyuk beribadah, tuannya tampak melihat ada sebuah lentera yang tergantung di
atas kepala Rabi’ah tanpa ada sehelai tali pun yang mengikatnya. Lentera yang
menyinari seluruh rumah itu merupakan cahaya “sakinah” (diambil dari bahasa Hebrew
“Shekina”, artinya cahaya Rahmat Tuhan) dari seorang Muslimah suci.
Melihat peristiwa aneh yang
terjadi pada budaknya itu, majikan Rabi’ah tentu saja merasa ketakutan. Ia
kemudian bangkit dan kembali ke tempat tidurnya semula. Sejenak ia tercenung
hingga fajar menyingsing. Tak lama setelah itu ia memanggil Rabi’ah dan bicara
kepadanya dengan baik-baik seraya membebaskan Rabi’ah sebagai budak. Rabi’ah
pun pamitan pergi dan meneruskan pengembaraannya di padang pasir yang tandus.
Dalam pengembaraannya Rabi’ah
berkeinginan sekali untuk pergi ke Mekkah menunaikan ibadah haji. Akhirnya, ia
berangkat juga dengan ditemani seekor keledai sebagai pengangkut
barang-barangnya. Sayangnya, belum lagi perjalanan ke Mekkah sampai, keledai
itu tiba-tiba mati di tengah jalan. Ia kemudian berjumpa dengan serombongan
kafilah dan mereka menawarkan kepada Rabi’ah untuk membawakan barang-barang
miliknya. Namun, tawaran itu ditolaknya baik-baik dengan alasan tak ingin
meminta bantuan kepada bukan selain Tuhannya. Ia hanya percaya pada bantuan
Allah dan tidak percaya pada makhluk ciptaan-Nya.
Sepanjang sejarahnya, konsep
Cinta Ilahi (Mahabbatullah) yang diperkenalkan Rabi’ah ini telah banyak dibahas
oleh berbagai kalangan. Sebab, konsep dan ajaran Cinta Rabi’ah memiliki makna
dan hakikat yang terdalam dari sekadar Cinta itu sendiri. Bahkan, menurut kaum
sufi, Mahabbatullah tak lain adalah sebuah maqam (stasiun, atau jenjang yang
harus dilalui oleh para penempuh jalan Ilahi untuk mencapai ridla Allah dalam
beribadah) bahkan puncak dari semua maqam. Hujjatul Islam Imam al-Ghazali
misalnya mengatakan, “Setelah Mahabbatullah, tidak ada lagi maqam, kecuali
hanya merupakan buah dari padanya serta mengikuti darinya, seperti rindu
(syauq), intim (uns), dan kepuasan hati (ridla)”.
Di kalangan para sahabat
sufi-nya itu, Rabi’ah banyak sekali berdiskusi dan berbincang tentang
Kebenaran, baik siang maupun malam. Salah seorang sahabat Rabi’ah, Hasan
al-Bashri, misalnya menceritakan: “Aku lewati malam dan siang hari bersama-sama
dengan Rabi’ah, berdiskusi tentang Jalan dan Kebenaran, dan tak pernah
terlintas dalam benakku bahwa aku adalah seorang laki-laki dan begitu juga
Rabi’ah, tak pernah ada dalam pikirannya bahwa ia seorang perempuan, dan
akhirnya aku menengok dalam diriku sendiri, baru kusadari bahwa diriku tak
memiliki apa-apa, yaitu secara spiritual aku tidak berharga, Rabi’ah-lah yang
sesungguhnya sejati.
Dalam kisah lain, diceritakan
bahwa pada suatu hari Rabi’ah melewati lorong rumah Hasan al-Bashri. Hasan
melihatnya melalui jendela dan menangis, hingga air matanya jatuh menetes
mengenai jubah Rabi’ah. Ia menengadah ke atas, dan berpikir bahwa hari tidaklah
hujan, dan ketika ia menyadari bahwa itu air mata sahabatnya, lalu dihampirinya
sahabat yang sedang menangis tersebut seraya berkata, “Wahai guruku, air itu
hanyalah air mata kesombongan diri saja dan bukan akibat dari melihat ke dalam
hatimu, di mana dalam hatimu air itu akan membentuk sungai yang di dalamnya
tidak akan engkau dapati lagi hatimu, kecuali ia telah bersama dengan Tuhan Yang
Maha Kuasa.” Setelah mendengar kata-kata Rabi’ah itu, Hasan tampak hanya bisa
berdiam diri.
Di kalangan para sahabatnya,
kehidupan Rabi’ah dirasakan banyak memberi manfaat. Hal ini dikarenakan Rabi’ah
banyak sekali memperhatikan kehidupan mereka. Perhatian Rabi’ah yang cukup
besar kepada para sahabatnya itu, misalnya saja dibuktikan dengan kisah sebagai
berikut: Suatu ketika, ada seorang laki-laki yang meminta agar Rabi’ah
mendoakan untuk dirinya. Tapi permohonan itu dibalas oleh Rabi’ah dengan rasa
rendah hati, “Wahai, siapakah diriku ini? Turutlah perintah Allah dan berdoalah
kepada-Nya, sebab Dia akan menjawab semua doa bila engkau memohonnya.”
Ke-zuhud-an Rabi’ah
al-Adawiyah
Sebagaimana diungkapkan
terdahulu, Rabi’ah sejak kecil sudah memiliki karakter yang tidak begitu banyak
memperhatikan kehidupan duniawi. Hidupnya sederhana dan sangat besar
hati-hatinya terhadap makanan apapun yang masuk ke dalam perutnya. Bahkan
saking zuhudnya, Rabi’ah sering menolak setiap bantuan yang datang dari para
sahabatnya, tetapi sebaliknya Rabi’ah malah menyibukkan diri untuk melayani
Tuhannya. Selepas dirinya dari perbudakan, Rabi’ah memilih hidup menyendiri di
sebuah gubuk sederhana di kota Basrah tempat kelahirannya. Ia meninggalkan
kehidupan duniawi dan hidup hanya untuk beribadah kepada Allah.
Tampaknya, keinginan untuk hidup
zuhud dari kehidupan duniawi ini benar-benar ia jalankan secara konsisten.
Pernah misalnya Al-Jahiz, seorang sufi generasi tua, menceritakan bahwa
beberapa dari sahabatnya mengatakan kepada Rabi’ah, “Andaikan kita mengatakan
kepada salah seorang keluargamu, pasti mereka akan memberimu seorang budak,
yang akan melayani kebutuhanmu di rumah ini.” Tetapi ia menjawab, “Sungguh, aku
sangat malu meminta kebutuhan duniawi kepada Pemilik dunia ini, bagaimana aku
harus meminta kepada yang bukan memiliki dunia ini?” Tiba-tiba terdengar suara
mengatakan:
“Jika engkau menginginkan dunia
ini, maka akan Aku berikan semua dan Aku berkahi, tetapi Aku akan menyingkir
dari dalam kalbumu, sebab Aku tak mungkin berada di dalam kalbu yang memiliki
dunia ini. Wahai Rabi’ah, Aku mempunyai Kehendak dan begitu juga denganmu. Aku
tidak mungkin menggabungkan dua kehendak itu di dalam satu kalbu.”
Rabi’ah kemudian mengatakan,
“Ketika mendengar peringatan itu, kutanggalkan hati ini dari dunia dan
kuputuskan harapan duniawiku selama tiga puluh tahun. Aku salat seakan-akan ini
terkahir kalinya, dan pada siang hari aku mengurung diri menjauhi makhluk
lainnya, aku takut mereka akan menarikku dari diri-Nya, maka akau katakana, “Ya
Tuhan, sibukkanlah hati ini dengan hanya menyebut-Mu, jangan Engkau biarkan
mereka menarikku dari-Mu.”
Sebagai seorang zahid, Rabi’ah
senantiasa bermunajat kepada Allah agar dihindarkan dari ketergantungannya
kepada manusia. Namun, perjalanan zuhud yang dialami Rabi’ah tampaknya tidak
mudah begitu saja dilalui. Di depan, banyak tantangan dan cobaan yang harus ia
hadapi. Kenyataan-kenyataan itu memang wajar, karena sebagai manusia, tak
mungkin dirinya hanya bergantung kepada Allah semata. Meskipun demikian,
Rabi’ah tetap berusaha untuk menghindari apapun bantuan yang datang selain dari
Allah, sehingga sekalipun ia hidup dalam kemiskinan (faqr), namun kemiskinannya
dianggap sebagai bagian dari kasih sayang Allah kepada Rabi’ah.
Dalam satu kisah misalnya
disebutkan, sahabatnya Malik bin Dinar pada suatu waktu mendapati Rabi’ah
sedang terbaring sakit di atas tikar tua dan lusuh, serta batu bata sebagai
bantal di kepalanya. Melihat pemandangan seperti itu, Malik lalu berkata pada
Rabi’ah, “Aku memiliki teman-teman yang kaya dan jika engkau membutuhkan
bantuan aku akan meminta kepada mereka.” Rabi’ah mengatakan, “Wahai Malik,
engkau salah besar. Bukankah Yang memberi mereka dan aku makan sama?” Malik
menjawab, “Ya, memang sama.” Rabi’ah mengatakan, “Apakah Allah akan lupa kepada
hamba-Nya yang miskin dikarenakan kemiskinannya dan akankah Dia ingat kepada
hamba-Nya yang kaya dikarenakan kekayaannya?” Malik menyahut, “Tidak.” Rabi’ah
lalu kembali mengatakan, “Karena Dia mengetahui keadaanku, mengapa aku harus
mengingatkan-Nya? Apa yang diinginkan-Nya, kita harus menerimanya.”
Rabi’ah dan menjelang hari
kematiannya
Dikisahkan, Rabi’ah telah
menjalani masa hidup selama kurang lebih 90 tahun. Dan selama itu, ia hanya
mengabdi kepada Allah sebagai Pencipta dirinya, hingga Malaikat Izrail
menjemputnya. Tentu saja, Rabi’ah telah menjalani pula masa-masa di mana Allah
selalu berada dekat dengannya. Para ulama yang mengenal dekat dengan Rabi’ah
mengatakan, kehadiran Rabi’ah di dunia hingga kembalinya ke alam akhirat, tak
pernah terbersit sedikit pun adanya keinginan lain kecuali hanya ta’zhim
(mengagungkan) kepada Allah. Ia juga bahkan sedikit sekali meminta kepada
makhluk ciptaan-Nya.
Berbagai kisah menjelang
kematian Rabi’ah menyebutkan, di antaranya pada masa menjelang kematian
Rabi’ah, banyak sekali orang alim duduk mengelilinginya. Rabi’ah lalu meminta
kepada mereka: ‘Bangkit dan keluarlah! Berikan jalan kepada pesuruh-pesuruh
Allah Yang Maha Agung!’ Maka semua orang pun bangkit dan keluar, dan pada saat
mereka menutup pintu, mereka mendengar suara Rabi’ah mengucapkan kalimat
syahadat, setelah itu terdengar sebuah suara: “Wahai jiwa yang tenang,
kembalilah kepada Tuhanmu, berpuas-puaslah dengan-Nya. Maka masuklah bersama
golongan hamba-hamba-Ku dan masuklah ke dalam surga-Ku.” (QS. 89: 27-30).
Setelah itu tidak terdengar lagi
suara apa pun. Pada saat mereka kembali masuk ke kamar Rabi’ah, tampak
perempuan tua renta itu telah meninggalkan alam fana. Para dokter yang berdiri
di hadapannya lalu menyuruh agar jasad Rabi’ah segera dimandikan, dikafani,
disalatkan, dan kemudian dibaringkan di tempat yang abadi.
Kematian Rabi’ah telah membuat
semua orang yang mengenalnya hampir tak percaya, bahwa perempuan suci itu akan
segera meninggalkan alam fana dan menjumpai Tuhan yang sangat dicintainya.
Orang-orang kehilangan Rabi’ah, karena dialah perempuan yang selama hidupnya
penuh penderitaan, namun tak pernah bergantung kepada manusia. Setiap orang
sudah pasti akan mengenang Rabi’ah, sebagai sufi yang telah berjumpa dengan
Tuhannya.
KETIKA RABI’AH ADAWIYAH DILAMAR HASAN
AL-BASHRI
Alkisan. Ketika
suami waliyyatullâh Rabi’ah al-‘Adawiyah wafat, Hasan Al-Bashri (ulama tabiin)
dan beberapa orang sahabatnya meminta izin untuk masuk ke dalam rumah Rabi’ah
Adawiyah. Lalu, Rabi’ah pun mengizinkan mereka masuk sambil mengulurkan tabir
dan duduk di belakang tabir.
Imam Hasan
Al-Bashri dan para sahabatnya berkata, “Sekarang, suamimu telah tiada, maka
pilihlah di antara kami ini, orang-orang yang zuhud, siapakah yang kamu mau
untuk dijadikan suami?”
Lalu Rabi’ah
menjawab, “Baik. Sebenarnya aku menyukai dan memuliakan kalian semua. Namun,
aku ingin bertanya kepada kalian siapakah di antara kalian yang paling alim
untuk kujadikan sebagai suamiku yang baru?”
Sebelum Hasan
Al-Bashri sempat membuka mulut, para sahabatnya telah menjawab lebih dahulu,
“Orang yang paling alim di antara kami adalah Hasan Al-Bashri.”
Maka Rabi’ah
berkata, “Jika engkau bisa menjawab beberapa pertanyaan dariku, maka aku
bersedia menjadi istrimu!”
Imam Hasan
Al-Bashri pun segera menjawab, “Tanyalah, jika Allah memberiku petunjuk untuk
menjawab, maka aku akan menjawab pertanyaanmu.”
Rabi’ah lalu
melontarkan pertanyaan pertama: “Bagaimana menurutmu, seandainya aku meninggal,
apakah aku akan meninggalkan dunia ini sebagai orang Islam atau sebagai orang
kafir?”
Imam Hasan
Al-Bashri menjawab, “Masalah kematian berikut tanda-tandanya adalah masalah
gaib bagi makhluk.”
Rabi’ah lalu
melontarkan pertanyaan kedua: “Bagaimana menurutmu, seandainya aku sudah
dimasukkan ke liang kubur, lalu Malaikat Munkar dan Nakir bertanya kepadaku,
apakah aku mampu menjawab pertanyaan mereka atau tidak?”
Imam Hasan
menjawab, “Mengetahui mampu-tidaknya seseorang untuk menjawab pertanyaan kedua
malaikat itu adalah juga sama seperti masalah gaib yang ditanyakan sebelumnya.”
Kemudian,
Rabi’ah Adawiyah menyampaikan pertanyaan ketiga: “Jika manusia dikumpulkan di
tempat perhentiannya pada Hari Kiamat, sementara buku-buku catatan berterbangan
(di Hari Kiamat, buku-buku catatan amal perbuatan yang ditulis Malaikat yang
selalu dijaga dari tempat penyimpanannya di bawah Arsy yang kemudian atas
perintah Allah SWT buku-buku itu berterbangan, lalu menempel di leher
pemiliknya. Setelah itu, Malaikat mengambilnya untuk diserahkan kepada pemilik
buku tersebut), lalu sebagian manusia ada yang diberikan buku amalnya dari
sebelah kanan atau dari arah depan yang menandakan bahwa orang itu adalah orang
Mukmin yang taat. Sedangkan, sebagian lagi ada yang diberikan dari sebelah kiri
atau dari arah belakang yang menandakan bahwa dia adalah orang kafir.
Menurutmu, apakah aku akan diberikan buku catatan amal dari sebelah kananku
atau dari sebelah kiriku?”
Imam Hasan
menjawab, “Mengetahui pemberian buku amal perbuatan juga masalah gaib.”
Rabi’ah kemudian
mengajukan pertanyaan keempat, “Jika sekelompok manusia di Hari Kiamat
dipanggil untuk masuk ke dalam surga dan sekelompok lain masuk ke dalam neraka,
apakah aku akan termasuk penghuni surga ataukah penghuni neraka?”
Imam Hasan juga
menjawab, “Mengetahui apakah engkau termasuk penghuni surga atau penghuni
neraka adalah juga sebuah masalah gaib.”
Setelah
mendengar jawaban Hasan Al-Bashri, Rabi’ah pun berkata, “Apakah seseorang yang
gelisah terhadap keempat pertanyaan seperti itu membutuhkan suami atau mau
menghabiskan waktunya hanya untuk memilih suami?”
---Uqud
Al-Lujain fi Bayani Huquq-Zaujain karya Nawawi Al-Bantani
BIOGRAFI RABI’AH AL ADAWIYAH
Reviewed by bisnisrumahq.blogspot.com
on
Friday, December 08, 2017
Rating:
No comments: