BIOGRAFI IMAM BONJOL "SINGKAT"
Tuanku Imam Bonjol
Nama : Muhamad Shahab
Tanggal Lahir : 1772, Bonjol, Sumatera Barat,
Indonesia
Meninggal : 6 November 1864, Minahasa
Kebangsaan : Minangkabau
Agama : Islam
Orang tua : Bayanuddin (ayah), Hamatun (ibu)
Biografi
Tuanku Imam Bonjol
Tuanku Imam Bonjol
lahir di Bonjol pada tahun 1772, nama aslinya adalah Muhammad Shahab. Ia lahir
dari pasangan Bayanuddin dan Hamatun. Ayahnya adalah seorang alim ulama dari
Sungai Rimbang, Suliki. Imam Bonjol belajar agama di Aceh pada tahun 1800-1802,
dia mendapat gelar Malin Basa.
Sebagai ulama dan
pemimpin masyarakat setempat, Tuanku Imam Bonjol memperoleh beberapa gelar,
antara lain yaitu Peto Syarif, Malin Basa, dan Tuanku Imam. Tuanku nan Renceh
dari Kamang, Agam sebagai salah seorang pemimpin dari Harimau nan Salapan yang
menunjuknya sebagai Imam (pemimpin) bagi kaum Padri di Bonjol. Ia sendiri
akhirnya lebih dikenal masyarakat dengan sebutan Tuanku Imam Bonjol.
Perjuangan
Pertentangan kaum
Adat dengan kaum Paderi atau kaum agama turut melibatkan Tuanku Imam Bonjol.
Kaum paderi berusaha membersihkan ajaran agama islam yang telah banyak
diselewengkan agar dikembalikan kepada ajaran agama islam yang murni.
Pada awalnya
timbulnya peperangan ini didasari keinginan dikalangan pemimpin ulama di
kerajaan Pagaruyung untuk menerapkan dan menjalankan syariat Islam sesuai
dengan Ahlus Sunnah wal Jamaah yang berpegang teguh pada Al-Qur'an dan
sunnah-sunnah Rasullullah shalallahu 'alaihi wasallam. Kemudian pemimpin ulama
yang tergabung dalam Harimau nan Salapan meminta Tuanku Lintau untuk mengajak
Yang Dipertuan Pagaruyung beserta Kaum Adat untuk meninggalkan beberapa
kebiasaan yang tidak sesuai dengan Islam.
Dalam beberapa
perundingan tidak ada kata sepakat antara Kaum Padri dengan Kaum Adat.
Seiring itu dibeberapa nagari dalam kerajaan Pagaruyung bergejolak, dan sampai
akhirnya Kaum Padri dibawah pimpinan Tuanku Pasaman menyerang Pagaruyung pada
tahun 1815, dan pecah pertempuran di Koto Tangah dekat Batu Sangkar. Sultan
Arifin Muningsyah terpaksa melarikan diri dari ibukota kerajaan ke Lubukjambi.
Pada 21 Februari
1821, kaum Adat secara resmi bekerja sama dengan pemerintah Hindia-Belanda
berperang melawan kaum Padri dalam perjanjian yang ditandatangani di Padang,
sebagai kompensasi Belanda mendapat hak akses dan penguasaan atas wilayah darek
(pedalaman Minangkabau). Perjanjian itu dihadiri juga oleh sisa keluarga
dinasti kerajaan Pagaruyung di bawah pimpinan Sultan Tangkal Alam Bagagar yang
sudah berada di Padang waktu itu.
Perlawanan yang
dilakukan oleh pasukan padri cukup tangguh sehingga sangat menyulitkan Belanda
untuk mengalahkannya. Oleh sebab itu Belanda melalui Gubernur Jendral Johannes
van den Bosch mengajak pemimpin Kaum Padri yang waktu itu telah dipimpin oleh
Tuanku Imam Bonjol untuk berdamai dengan maklumat Perjanjian Masang pada tahun
1824. Tetapi kemudian perjanjian ini dilanggar sendiri oleh Belanda dengan
menyerang nagari Pandai Sikek.
Pada tahun 1833
perang berubah menjadi perang antara kaum Adat dan kaum Paderi melawan Belanda,
kedua pihak bahu-membahu melawan Belanda, Pihak-pihak yang semula bertentangan
akhirnya bersatu melawan Belanda. Diujung penyesalan muncul kesadaran,
mengundang Belanda dalam konflik justru menyengsarakan masyarakat Minangkabau
itu sendiri.
Bersatunya kaum Adat
dan kaum Padri ini dimulai dengan adanya kompromi yang dikenal dengan nama
Plakat Puncak Pato di Tabek Patah yang mewujudkan konsensus Adat basandi Syarak
(Adat berdasarkan agama).
Penyerangan dan
pengepungan benteng kaum Padri di Bonjol oleh Belanda dari segala jurusan
selama sekitar enam bulan (16 Maret-17 Agustus 1837) yang dipimpin oleh
jenderal dan para perwira Belanda, tetapi dengan tentara yang sebagian besar
adalah bangsa pribumi yang terdiri dari berbagai suku, seperti Jawa, Madura,
Bugis, dan Ambon.
3 kali Belanda
mengganti komandan perangnya untuk merebut Bonjol, yaitu sebuah negeri kecil
dengan benteng dari tanah liat yang di sekitarnya dikelilingi oleh parit-parit.
Barulah pada tanggal 16 Agustus 1837, Benteng Bonjol dapat dikuasai setelah
sekian lama dikepung.
Pada bulan Oktober
1837, Tuanku Imam Bonjol diundang ke Palupuh untuk berunding. Tiba di tempat
tersebut dia langsung ditangkap dan dibuang ke Cianjur, Jawa Barat. Kemudian
dipindahkan ke Ambon dan akhirnya ke Lotak, Minahasa, dekat Manado. Di tempat
terakhir itu ia meninggal dunia pada tanggal 8 November 1864. Tuanku Imam
Bonjol dimakamkan di tempat tersebut.
Penghargaan
Perjuangan yang telah
dilakukan oleh Tuanku Imam Bonjol dapat menjadi apresiasi akan kepahlawanannya
dalam menentang penjajahan, sebagai penghargaan dari pemerintah Indonesia,
Tuanku Imam Bonjol diangkat sebagai Pahlawan Nasional Indonesia sejak tanggal 6
November 1973.
BIOGRAFI IMAM BONJOL "SINGKAT"
Reviewed by bisnisrumahq.blogspot.com
on
Tuesday, January 10, 2017
Rating:
No comments: