MAHALNYA SEBUAH GAYA HIDUP
Seorang teman yang lama tidak mengirim kabar, tiba-tiba menyapa saya dengan sebuah cerita. Tentang adik iparnya yang akan menikah, dan membuatnya galau resah gelisah.
Si adik ipar belum punya pekerjaan tetap, dan gadis pilihannya juga bukan dari kalangan high end. Tapi kawan saya ini geleng-geleng dengan seserahan dan konsep pesta pernikahan yang mereka gadang.
“Kamu tahu nggak sih, make up yang diminta itu merk X lho.. alas bedaknya saja 700 ribu, lipstick-nya di atas 300 ribu. Belum perawatan tubuh semua merk Y. Tas juga mintanya merk Z yang nggak kepikir akan kita beli. Tas sama baju saja habis puluhan juta..” raungnya, kesal.
Saya mendengar saja semua celotehnya. Sambil diam-diam browsing merk asing yang dia maksud. Yang jujur saja baru saya dengar sekali itu.
“Padahal nih ya.. calon istrinya bukan orang kaya. Malah menengah ke bawah aja. Tapi gayanya.. aduh..kalah deh artis,”
Lalu si kawan kembali menyerocos, bahwa setelah nikah pasangan tersebut masih belum tahu akan tinggal dimana. Sementara uang sudah terhambur sedemikian banyak demi pesta yang tak lebih dari 3 jam lamanya.
Duhai.. andai pasangan itu tahu pahit manisnya perjuangan setelah menikah.
Ada pula seorang kawan yang terkaget-kaget begitu pertama kali mendatangi rumah koleganya, yang selama ini dikenal sangat fashionable. Hingga tidak mungkin memakai barang non branded.
Rumahnya begitu kecil menuju kumuh. Nyaris tidak terawat. Tapi soal fashion.. ough seleranya begitu western. Uang darimana? Utang atau cash? Hanya dia dan Tuhan yang tahu.
Yang seperti ini ada, dan sering kali membuat orang lain bertanya, bagaimana bisa?
Ada ibu yang anaknya terpaksa keluar sekolah karena menunggak SPP sekian bulan. Padahal si ibu baru saja kredit mobil, dan memborong sepatu.
Ada tukang sayur yang mengeluh tentang seorang ibu yang sulit sekali ketika ditagih membayar utang. Padahal penampilan sama sekali tidak mencerminkan seorang penghutang. Modis dan wangi.
Oh.. gaya hidup rupanya membuat hidup semakin banyak biaya. Makin diendus makin haus. Makin dituruti, hidup terancam mati suri.
Barangkali ini yang membuat saya sangat tidak betah ketika menjejakkan kaki di PIM, sebuah mall elite di Jakarta Selatan. Tujuan saya hanya ke Gramedia, tapi untuk menuju kesana terpaksa melewati deretan toko-toko branded.
Jiwa saya tidak selaras dengan segenap kemewahan yang tampak di sana. Ingat jilbab diskonan yang saya beli di pasar pagi. Juga tak sampai hati melihat anak-anak melongo mengagumi makhluk ganteng dan cantik berlalu lalang di depan mereka. Semua indah, berbanding terbalik dengan apa yang ia jumpai pada diri ayah ibunya.
Oh emak.. saya sungguh ingat rumah saya di kampung. Yang dulu saya tinggal dengan hati kelabu lantaran harus ikut suami merantau.
Betapa kurindu, Mak.. jalan-jalan pagi di pematang sawah milik orang. Lalu mampir ke warung jenang lemu, membeli sepincuk bubur encer seharga seribu.
Pulangnya kami masih menenteng rempeyek, yang level kerasnya tidak masuk akal. Sehingga jika dilempar, kucing pun bisa terkaing-kaing. Tapi tawa kami berderai.. tak peduli daster yang kami pakai tambal sulam di sana sini.
Ya..ya.. kalau kebahagiaan bisa saya capai dengan cara semudah itu, lalu untuk apa berlelah-lelah menuruti mode yang arusnya tak pernah lesu?
*Sebuah catatan dari tanah rantau
Si adik ipar belum punya pekerjaan tetap, dan gadis pilihannya juga bukan dari kalangan high end. Tapi kawan saya ini geleng-geleng dengan seserahan dan konsep pesta pernikahan yang mereka gadang.
“Kamu tahu nggak sih, make up yang diminta itu merk X lho.. alas bedaknya saja 700 ribu, lipstick-nya di atas 300 ribu. Belum perawatan tubuh semua merk Y. Tas juga mintanya merk Z yang nggak kepikir akan kita beli. Tas sama baju saja habis puluhan juta..” raungnya, kesal.
Saya mendengar saja semua celotehnya. Sambil diam-diam browsing merk asing yang dia maksud. Yang jujur saja baru saya dengar sekali itu.
“Padahal nih ya.. calon istrinya bukan orang kaya. Malah menengah ke bawah aja. Tapi gayanya.. aduh..kalah deh artis,”
Lalu si kawan kembali menyerocos, bahwa setelah nikah pasangan tersebut masih belum tahu akan tinggal dimana. Sementara uang sudah terhambur sedemikian banyak demi pesta yang tak lebih dari 3 jam lamanya.
Duhai.. andai pasangan itu tahu pahit manisnya perjuangan setelah menikah.
Ada pula seorang kawan yang terkaget-kaget begitu pertama kali mendatangi rumah koleganya, yang selama ini dikenal sangat fashionable. Hingga tidak mungkin memakai barang non branded.
Rumahnya begitu kecil menuju kumuh. Nyaris tidak terawat. Tapi soal fashion.. ough seleranya begitu western. Uang darimana? Utang atau cash? Hanya dia dan Tuhan yang tahu.
Yang seperti ini ada, dan sering kali membuat orang lain bertanya, bagaimana bisa?
Ada ibu yang anaknya terpaksa keluar sekolah karena menunggak SPP sekian bulan. Padahal si ibu baru saja kredit mobil, dan memborong sepatu.
Ada tukang sayur yang mengeluh tentang seorang ibu yang sulit sekali ketika ditagih membayar utang. Padahal penampilan sama sekali tidak mencerminkan seorang penghutang. Modis dan wangi.
Oh.. gaya hidup rupanya membuat hidup semakin banyak biaya. Makin diendus makin haus. Makin dituruti, hidup terancam mati suri.
Barangkali ini yang membuat saya sangat tidak betah ketika menjejakkan kaki di PIM, sebuah mall elite di Jakarta Selatan. Tujuan saya hanya ke Gramedia, tapi untuk menuju kesana terpaksa melewati deretan toko-toko branded.
Jiwa saya tidak selaras dengan segenap kemewahan yang tampak di sana. Ingat jilbab diskonan yang saya beli di pasar pagi. Juga tak sampai hati melihat anak-anak melongo mengagumi makhluk ganteng dan cantik berlalu lalang di depan mereka. Semua indah, berbanding terbalik dengan apa yang ia jumpai pada diri ayah ibunya.
Oh emak.. saya sungguh ingat rumah saya di kampung. Yang dulu saya tinggal dengan hati kelabu lantaran harus ikut suami merantau.
Betapa kurindu, Mak.. jalan-jalan pagi di pematang sawah milik orang. Lalu mampir ke warung jenang lemu, membeli sepincuk bubur encer seharga seribu.
Pulangnya kami masih menenteng rempeyek, yang level kerasnya tidak masuk akal. Sehingga jika dilempar, kucing pun bisa terkaing-kaing. Tapi tawa kami berderai.. tak peduli daster yang kami pakai tambal sulam di sana sini.
Ya..ya.. kalau kebahagiaan bisa saya capai dengan cara semudah itu, lalu untuk apa berlelah-lelah menuruti mode yang arusnya tak pernah lesu?
*Sebuah catatan dari tanah rantau
MAHALNYA SEBUAH GAYA HIDUP
Reviewed by bisnisrumahq.blogspot.com
on
Thursday, April 28, 2016
Rating:
No comments: